Oleh: Syaiful, M.Pd.
Dosen Pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Falah Pamekasan
Di penghujung tahun 2019 dunia dihebohkan dengan munculnya Corona Virus Disease atau yang lebih dikenal dengan Covid-19. Bermula dari kota Wuhan Provinsi Hubei China, virus yang diduga berasal dari hewan dan berpindah pada manusia menjangkiti tiap individu dengan cara menular melalui kontak fisik. Bagi yang terpapar secara positif akan mengalami infeksi pernafasan akut yang berhujung pada kematian.
Penyebaran covid-19 tidak hanya berhenti di Negara China saja, seiring dengan berjalannya waktu virus ini terus merambah ke berbagai belahan dunia dengan cara penularan yang disebut kasus inpor dari luar wilayah asal atau transmisi lokal antar penduduk. Penyebaran yang begitu cepat menyebabkan banyak Negara yang terpapar virus tersebut terutama negara-negara yang berdekatan dengan China, bahkan virus ini ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) pada Kamis 12 Maret 2020, mengingat covid-19 memiliki tingkat penyebaran dan keparahan yang mengahawatirkan.
Di Indonesia, kasus positif terpapar covid-19 pertama yang dikonfirmasi oleh pemerintah Republik Indonesia adalah pada tanggal 2 Maret 2020, sebagaimana dimuat dalam berita di laman Kompas.com pada tanggal 3 Maret 2020 bahwa kasus tersebut bermula dari kontak fisik yang dilakukan oleh seorang ibu (64 tahun) dan putrinya (31 tahun) dengan seorang warga negara Jepang yang datang ke Indonesia. Sejak itulah kasus demi kasus positif terpapar covid-19 di Indonesia kian bertambah dan cukup menghawatirkan.
Sebagai salah satu langkah konkrit mencegah penyebaran covid-19 di Indonesia, pemerintah dalam hal ini presiden Joko Widodo segera membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia. Melalui Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang ditanda tangani pada tanggal 13 Maret 2020, presiden menunjuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana yakni Doni Monardo sebagai ketua gugus tugas. Gugus tugas ini berskala nasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Pembentukan gugus tugas percepatan penanganan covid-19 tidak hanya di tingkat pusat saja, pemerintah melalui menteri dalam negeri mengeluarkan surat edaran (SE) Nomor 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Daerah. Melalui surat edaran tersebut Mendagri menunjuk tiap kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota sebagai ketua gugus tugas. Penunjukan kepala daerah sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan covid-19 tidak diperbolehkan didelegasikan pada pejabat lain di daerah, disamping itu Gubernur juga menjadi Anggota Dewan Pengarah Gugus Tugas Covid-19 Tingkat Nasional.
Dalam surat edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Daerah, pada angka 4 poin d dijelaskan bahwa dalam hal perumusan kebijakan penanganan dampak penularan covid-19, Pemerintah Daerah dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Daerah “harus melakukan sosialisasi pembatasan sosial (social distancing) dan karantina mandiri (self quarantine) yang melibatkan semua jajaran Pemerintah Daerah, masyarakat, dan dunia usaha dengan memperhatikan protokol-protokol terkait penaganan covid-19 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam surat edaran ini”. Surat edaran Mendagri tersebut tentunya mengamanatkan pada seluruh kepala daerah untuk mengambil langkah pencegahan sebagai antisipasi dan penanganan covid-19 di daerah agar tidak terjadi tambahan kasus yang lebih banyak.
Upaya pencegahan penyebaran covid-19 dengan cara menjaga jarak fisik (physical distancing) diterapkan diberbagia instansi pemerintahan melalui beberapa kementerian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, telah memberlakukan belajar dari rumah (home learning) sejak 16 Maret 2020. Pemberlakuan physical distancing bagi sekolah-sekolah ditujukan untuk mencegah terjadinya kontak fisik antar individu (warga sekolah) termasuk siswa yang tentunya sangat sulit untuk dihindari ketika berada di dalam kelas. Pemberlakuan physical distancing bagi sekolah-sekolah dirasa cukup mudah yakni dengan pemberlakuan belajar dari rumah sudah bisa menerapkan kebijakan tersebut, akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan instansi pemerintah seperti Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan, mengingat lapas dan rutan adalah tempat berkumpulnya narapidana yang sedang menjalani proses peradilan pidana tahap akhir tentunya juga memiliki hak yang sama yakni mendapatkan pelayanan kesehatan.
Lembaga Pemasayarakatan sebagai lembaga penegakan hukum serta menjadi tahapan akhir dari sistem peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan memiliki peran sebagai tempat penghukuman dan sekaligus pembinaan bagi mereka yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan (narapidana). Sebagai warga binaan, para narapidana juga memiliki hak dan perlindungan dalam proses menjalani masa hukumannya di dalam lembaga pemasayarakatan. Narapidana perlu diperhatikan hak-haknya seperti halnya mendapatkan asimilasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada pasal 14 ayat 1 huruf (j) yang berbunyi “mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga”. Poin tersebut menjelaskan bahwa asimilasi sebagai usaha membaurkan narapidana ke dalam masyarakat guna mengembalikan keberfungsian sosial narapidana menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya. Asimilasi diberikan sebagai hak narapidana, baik untuk pelaku tindak pidana umum maupun pelaku tindak pidana khusus setelah memenuhi syarat-syarat di dalam peraturan perundang-undangan.
Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan baru tentang asimilasi bagi narpidana. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narpidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Dikeluarkannya kebijakan baru tentang asimilasi dan integrasi bagi narapidana tentunya tidak lepas dari pertimbangan rawannya penyebaran covid-19, mengingat covid-19 merupakan virus yang dapat menular melalui kontak fisik antar individu dan apabila tidak segera mendapatkan pertolongan medis akan menyebabkan kematian. Atas dasar itulah maka pemberian asimilasi dan integrasi di tengah pandemi covid-19 diberikan terhadap narapidana mengingat jumlah penghuni lapas yang tidak seimbang dengan kapasitas yang ada (over load) di beberapa lembaga pemasyarakatan. Kompas.id pada tanggal 13 Apirl 2020 memberitakan bahwa berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah narapidana dan tahanan di Indonesia per 11 April 2020 telah mencapai 225.176 orang, sedangkan total daya tampung penjara hanya untuk 132.107 narapidana dan tahanan. Di tengah pandemi Covid-19 tentunya penjara menjadi tempat yang berisiko. Persoalannya, selain banyak penjara yang tidak layak huni lantaran minimnya fasilitas dan penyuluhan kesehatan, kelebihan kapasitas juga menyebabkan kebijakan social distancing atau physical distancing mustahil untuk diterapkan. Dengan adanya kebijakan untuk membebaskan narapidana dan anak yang ada di dalam lapas/rutan, diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi penyebaran covid-19. Republika.id merilis berita bahwa hingga 8 April 2020, jumlah narapidana dewasa dan anak yang dikeluarkan melalui program asimilasi dan integrasi telah mencapai 36.554 orang dan dipastikan masih terus bertambah.
Untuk mendapatkan pembebasan melalui proses asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19, narapidana harus memenuhi beberapa syarat. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, bahwa pembebasan narapidana dilakukan dengan syarat selain berkelakuan baik selama menjalani masa pidana juga telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 untuk narapidana, dan telah menjalani 1/2 masa pidana 31 Desember 2020 untuk anak. Sementara syarat bebas melalui integrasi telah menjalani 2/3 masa pidana bagi narapidana dan 1/2 masa pidana bagi anak. Adapun ancaman hukuman bagi para narapidana yang mendapatkan pembebasan dengan asimilasi dan integrasi berulah dan mengulangi lagi tindak kejahataanya, maka akan dikembalikan lagi ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani sisa masa tahananannya. Seperti yang diungkapkan oleh Plt Dirjenpas, Nugroho pada Okezone.com, “selain dicabut hak asimilasinya dan integrasinya, menjalankan sisa pidananya kembali dalam lembaga ditambah pidana baru, juga harus dimasukkan ke dalam straft cell atau sel pengasingan dan tidak diberikan hak remisi sampai waktu tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dari pemaparan di atas maka dapat diberikan kesimpulan bahwa pertimbagan hukum pemberian asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19. Pertama, atas pertimbangan kemanusiaan dimana setiap manusia memiliki hak yang sama dihadapan hukum. Hak Asasi Manusia menjadi dasar pemberian asimilasi dan integrasi bagi para narapidana untuk bisa mendapatkan pembebasan guna menghindari tertularnya covid-19. Kedua, pertimbangan kondisi lapas/rutan di Indonesia yang over kapasitas dan sangat berbahaya bagi penyebaran dan penularan covid-19, maka Kementerian Hukum dan HAM juga berupaya menginisiasi kebijakan pemberlakuan social and physical distancing intens untuk menekan laju penyebaran covid-19 khususnya di dalam lapas/rutan.
Daftar Rujukan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Daerah.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narpidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19
Artikel Internet
Anonymous, “Baru Bebas Residivis Langsung Kambuh”, dalam https://www.republika.id/posts/5925/baru-bebas-residivis-langsung-kambuh, 15 April 2020, hlm. 1, diakses pada tanggal 14 Mei 2020.
Kahfid Mardiyansyah, “Kehidupan Napi Asimilasi,dari Bertaubat hingga Kembali Berulah”, dalam https://nasional.okezone.com/read/2020/04/30/337/2207506/kehidupan-napi-asimilasi-dari-bertaubat-hingga-kembali-berulah, 30 April 2020, hlm. 1, diakses pada tanggal 15 Mei 2020.
Topan Yuniarto, “Dilema Pembebasan Tahanan”, dalam https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/13/dilema-pembebasan-tahanan/, 13 April 2020, hlm. 1, diakses pada tanggal 14 Mei 2020.