
Kehidupan di muka bumi sulit terlepas dari masalah (problem), baik masalah yang bersiafat pribadi, internal keluarga maupun eksternal yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Manusia dicipta oleh Allah swt. selain untuk beribadah juga untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang kerap kali datang tanpa diduga. Bahkan ragam masalah yang dijalani oleh setiap manusia pada hakikatnya adalah hak prerogatifNya Allah untuk melihat kompetensi dan idealisme dari setiap hambanya. Sebagaima konsep Al-Qur’an “Fastabiqulkhairat”, memperbanyak amal baik dengan beragam kegaiatan termasuk cara dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan adalah implementasi dari konsep tersebut yang seharusnya menjadi ciri khas kehidupan.
Ketika terjadi proses atau usaha dalam menyelesaikan masalah pada kenyataannya adalah suatu usaha taqarrub (mendekatkan) diri kepada sang pemberi masalah, Allah swt. Setiap individu manusia diberikan maslah yang beragam sesuai kadar potensinya dalam menghadapi dan menyelesaikannya adalah sebagai mediasi untuk mengingat Allah, kerena tanpa ada masalah terkadang manusia bisa lupa terhadap nikmatNya yang telah maupun yang sedang dijalani terutama nikmat Islam, iman dalam beragama dan kesehatan yang menjadi mudal utama dalam setiap kegiatan. Dalam paradigma yang lain masalah merupakan nikmat yang sejatinya harus disyukuri karena dengannya dapat menghapus dosa dan menambah pahala, pada sisi yang lain masalah merupakan adzab atas ulah dan perbuatannya sendiri.
“Setiap penyakit pasti ada obantnya”. Filosofi ini sangat berelasi dengan ilmu dalam menyelesaikan masalah. Ilmu adalah obat yang berguna untuk mengobati penyakit yang melanda pada manusia, baik sebagai preventif (pencegahan) maupun kuratif (pengobatan). Sebagai preventif, manusia jauh sebelum masalah datang sudah berusaha maksimal supaya dalam perjalanan hidupnya tidak ada aral yang menghambat. Tentunya ini selain usaha maksimak pun juga tidak lepas dari penyandaran sepenuhnya kepada Allah. Sedangkan kuratif adalah cara manusia memanfaatkan dan menggunakan ilmu sebagai pisau dalam membedah masalah mulai dari kulitnya hingga selesai semua persolannya. Ibarat kacamata bagi seseorang yang minus, ilmu dapat memperbesar benda yang kecil, mendekatkan sesuatu yang jauh, memperjelas sesuatu yang masih diragukan dan memperindah perjalanan kehidupan.
mengutip dauhnya Syekh Al-Zarnuji dalam karya monumentalanya – Ta’lim al-Muta’allim bahwa kedudukan ilmu laksana cahaya atau sinar terang yang sangat dibutuhkan dalam keadaan gelap gulita, maka untuk mencapai suatu tujuan dalam keadaan tersebut adalah cahaya yang menjadi kebutuhan utama. Demikianlah ilmu merupakan kebutuhan pertama dan utama dalam setiap kehidupan guna sebagai landasan dan pedoman dalam melaksanakan rangkaian kegiatan baik berupa kegiatan sosial maupun ritual. lmu adalah sinar yang dapat meneropong masa yang sudah dilalui dan atau masa depan hidup yang akan dihadapi. sebagaimana yang pernah diungkap oleh motivator internasional, Dr. Ibrahim Elfiky dalam- Terapi Berpikir Positif bahwa apa yang dirasakan hari ini adalah hasil dari pemikiran kemaren, apa yang dihadapi sepuluh atau bahkan dua puluh tahun akan datang adalah hasil pemikiran hari ini. Masih dalam konsep Syekh Al-Zarnuji biqadri maa tatamanna tanalu maa tatamanna, apa yang didapat hari adalah hasil dari mimpi dan impian kemaren.
Arus globalisasi adalah suatu keniscayaan yang sulit dibekukan termasuk di dalamnya lahirnya kemajuan teknologi yang kian canggih. Tentunya ini juga menjadi salahsatu pengaruh dalam timbullnya berbagai permasalahan baru dalam lini kehidupan, baik dalam tataran individu keluarga, regional, nasional bahkan internasional. Dengan kecanggihan layar teknolgi di depan genggaman akan ada dua kemungkinan yang akan dialami, antara pemanfaatan teknologi sebagai media kebenaran atau menjadi korban teknologi dalam penyebaran Hoax (berita palsu atau fitnah). Kelemahan iman dan miskinnya ilmu menjadi salahsatu pemicu bagi seseorang dalam penyalah gunaan teknologi sehingga tidak jarang melontarkan cacian, kebencian dan bahasa kotor yang bisa meresahkan masyarakat umum. Sebaliknya dengan pengetahuan yang luas, baik tentang agama maupun umum serta dilandasi dengan iman yang kuat maka seseorang tidak mudah menelan begitu saja berita yang beredar dan tidak gegabah dalam menyalahkan orang lain lebih-lebih sangat berhati-hati dalam bertindak baik di dunia nyata maupun media sosial.
Memperkaya ilmu selain sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan juga sebagai wujud terimakasih kepada pemberi akal pikiran dan umur panjang, Allah swt. Akal pikiran manusia adalah pemberian Allah yang super istimewa sehingga dapat menikmati hidup dan bermuhasabah dalam setiap kegiatan hidup. Selain itu dapat menjadi pembada antara manusia dengan hewan yang sama-sama makhluk ciptanNya namun tidak berakal layaknya manusia. Luasnya ilmu Allah tidak cukup bagi setiap manusia dalam memperdalam ilmuNya, sehingga catatan bagi thhalibul ‘ilmi tidak pantas merasa cukup dengan ilmu yang telah diperolehnya. Lebih parah lagi perasaan dan anggapan demikian akan menjadi mahjub (belenggu) dalam menambah dan memperdalam ilmuNya.
Selain sebagai landasan dalam kehidupan, berilmu juga sebagai pendorong dalam penyandangan gelar dan status sosial. Dalam hal ini, profesi dan status mulia dalam penilaian Allah dan dalam kacamata manusia juga kualitias keilmuan menjadi penentu di dalamnya. Manusia bisa mulia kerena ilmunya dan bisa hina kerena tidak berilmu. Perjalanan hidup manusia dalam menatap karirinya sangat berkiblat pada kedalaman ilmunya yang kemudian mengantarkan menjadi hamba Allah yang mulia, menjadi manusia melenial yang mempu beradaptasi dalam dunia global. Kata kunci (keyword) pertama dan utama dalam menoropong dan menggapai masa depan yang baik adalah dengan belajar dan terus belajar mendalami luasnya ilmu. Minal mahdi ilal lahdi, mulai lepasnya dari buayan ibu sampai dipenghujung umur memasuki liang lahat adalah salahsatu perintah Nabi Muhammad saw. yang tidak hanya sebagai kalimat tekstual akan tetapi yang paling penting bagaimana perintah tersebut menjadi kalimat tindakan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bangku pendidikan, Pesantren, Kampus hingga dalam tataran kehidupan keluarga.
Al-Qur’an dalam beberapa ayat, di antaranya QS. Al-Mulk ayat 2 terdapat potongan ayat ayyukum ahsanu ‘amala, dalam potongan ayat tersebut, Allah sangat memperioritaskan terhadap kualitas dari pada kuantitas, mengutamakan isi dari pada kulit dan mengedepankan tindakan (ection) dari pada ucapan. Sehingga netralitas Al-Qur’an dalam menilai setiap manusia sangatlah mudah yaitu dengan menilai kualitas amalnya tanpa memandang jenis golongan, ras, suku dan profesinya. Untuk mewujudkan kualitas amal harus disandarkan pada ilmu yang kemudian menjadi imam yang harus diikuti. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “ilmu adalah imam dari amal, sementatar amal mengikuti ilmu”. Imam atau panutan dalam menilai kehidupan bukan pada keangkuhan hawa nafsu, tetapi pada sandaran ilmu.
Sebagai penutup dari oretan kecil ini, seseorang yang terus memperkaya dengan ilmu akan menjadi pintu pembuka dalam melihat masa depan yang lebih terang gemilang dan menjadi pisau bedah dalam sosial problem. Sedangkan seseorang yang menutup diri dan menganggap cukup atau puas dengan ilmunya yang diperoleh akan menjadi mahjub dalam melihat kehidupan yang akan datang dan terbebani dengan hidupnya. Ilmu adalah anugerah Allah yang harus disambut dengan penuh kecintaan dan kebersihan jiwa, kemudian dipersembahkan kembali kepadaNya dalam bentuk pengabdian yang nyata dan mulia dalam kehidupan sehari-hari. wallahu a’lamu
Referensi:
Syekh Al-Zarnuji, Talim al-Muta’allim Thariqut Ta’allum, Surabaya: Mahkota
Ibrahim Elfiky, Terapi Befikir Positif, Jakarta: Zaman, 2009
Syekh Mohammad Nawawi, Tafsir Murah Labidz Likasyfi Makna Al-Qur’an Al- Majid, Pamekasan, 27 Sayawal 1441 H/17 Juni 2020 M.
Pamekasan, 27 Sayawal 1441 H/17 Juni 2020 M.
Penulis: Mohammad Zakki Ismail, Dosen tetap di STAIFA